Penulis : Muhammad Irvan Mahmud Asia (Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam)
Agraris.id- Ada tiga komponen dasar dalam peningkatan produktifitas pangan: air irigasi, benih unggul, dan pupuk. Terwujudnya ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan dan kemudahan akses petani. Pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa dan jika kita menghendaki kestabilan suatu bangsa maka harus ditopang oleh ketahanan pangan dan ini membutuhkan ketersediaan pasokan pupuk yang tepat, cepat, dan terjangkau.
Petani setiap tahunnya mendapatkan kuota pupuk subsidi dari pemerintah. Dalam kuran waktu sembilan tahun terakhir (2015-2023), belanja subsidi pupuk mencapai Rp. 263,8 triliun atau rata-rata Rp. 29,3 trliun/tahun. Walaupun subsidi pupuk ini dalam tiga tahun terakir menurun.
Biaya yang dikeluarkan untuk subsidi pupuk tidak sebanding dengan peningkatan produksi. Inilah yang pernah diungkapkan seorang menteri. Atas dasar inilah beberapa kalangan memberikan argumentasi kalau subsidi pupuk sebaiknya dihapus saja.
Tentu penulis tidak sependapat dengan argument tersebut. Memang dalam rantai subsidi pupuk ada banyak permasalahan, namun menghapus subsidi pupuk atau menguranginya justru akan membuat petani malas berproduksi. Cobalah lihat beberapa negara maju, subsidi untuk petani justru dinaikan. Mereka menyadari arti penting dari ketahanan pangan dan petani adalah soko gurunya.
Temuan Tim Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Mabes Polri di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) bahwa distribusi pupuk bersubsidi masih ada kios yang tidak mempunyai stok sehingga saat petani butuh, baranganya tidak tersedia. Tim ini juga menemukan hingga akhir Juli 2023, serapan alokasi pupuk subsidi di Kabupaten OKI masih 55 persen, ini jelas merugikan petani. Belum lagi penyimpanan pupuk di gudang kios, masih ada yang belum sesuai dengan standar.
Dari kejadian di Kabupaten OKI, jelas yang menjadi masalah adalah lemahnya pengawasan di tingkat kios pengecer bahkan distributor serta kordinasi terhadap distribusi seringkali memunculkan isu tidak tepat sasaran, kurang, dan langka. Hal yang sebenarnya sudah berulang kali diingtakan oleh Ombudsman RI.
Bahkan hasil kajian dan investigasi terbaru Ombudsman yang disampaikan dalam Workshop “Transformasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi” pada 3/8/23 di Bogor menemukan lima masalah pokok dalam kebijakan pupuk subsidi: tujuan kebijakan pupuk bersubsidi yang dinilai belum jelas dan tepat tujuan; kriteria petani penerima pupuk bersubsidi yang dinilai belum jelas dan tepat sasaran; pendataan yang tidak kunjung menghadirkan data yang akurat; penyaluran yang kerap memunculkan isu tidak tepat sasaran; dan desain perencanaan anggaran yang tidak merata pada setiap dukungan program pupuk bersubsidi. Semoga saja untuk data tadi dengan sensus pertanian yang baru saja selesai dilakukan bisa menemukan titik terang.
Sebenarnya masalah ini terus berulang. Kementrian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia (PIHC) tidak berbenah dengan sungguh-sungguh termasuk dukungan Kemenkominfo juga menjadi penting mengingat masih ada 12.500 desa belum memiliki akses internet. Bagimana mungkin implementasi Kartu Tani bisa dilakukan kalau infrastruktur pendukung seperti jaringan internet tidak sampai ke desa.
Langkah Strategis
Tantangan sektor pangan semakin kompleks, bukan saja penyusutan lahan pertanian, tetapi dampak perubahan iklim yang saat ini memasuki El Nino telah membuat produksi pangan menurun. Jika persoalan pupuk sebagai elemen vital dalam produksi pangan tidak diselesaikan, maka dipastikan dampaknya pada penurunan produksi lebih dalam akan terjadi. Sesuatu yang tentu tidak kita inginkan.
Olehnya itu, berbagai kebijakan konkrit – terarah harus dilakukan. Pertama, perbaikan data, dan ini yang perlu ditunggu dari BPS seperti apa hasil sensus pertanian. Pemutakhiran data penerima (sesuai kriteria) termasuk persebarannya harus benar-benar tepat. Disini perlu ada kerjasama atau kordinasi dengan RT/RW, pemerintah desa untuk mengetahui pergerakan penduduk atau dalam hal ini petani karena masih saja ditemukan penerima pupuk subsidi yang sudah meninggal tapi masih terdaftar, atau petani telah beralih profesi, dan sebagainya.
Kedua, memastikan SOP pengawasan distribusi pupuk subsidi berjalan optimal. Selama ini tidak jalan, apakah berkaitan dengan tidak adanya pos anggaran sehingga pengawasan yang melibatkan berbagai instansi tidak bekerja.
Ketiga, ini terkait khusus dengan keberlangsungan PIHC sendiri sebagai BUMN yang bukan saja bertanggungjawab menjadi salah satu tulang punggung ketahanan pangan, tetapi bisa juga secara berimbang melakukan ekspor. Itu sebabnya, penulis mendukung apa yang dikatakan Direktur Utama PIHC Rahmad Pribadi, dalam keterangannya pada Kompas 28/7/23 bahwa fokus kerja dari PIHC ada tiga hal: melakukan penambahan kapasitas produksi, seperti ekspansi membangun pabrik di Papua Barat; melakukan pengamanan sumber bahan baku terutama fasfor dan kalium karena harus impor; dan akan merevitalisasi pabrik-pabrik yang sudah tua dengan mengunakan teknologi low carbon intensity. Khusus ekpansi pabrik baru, PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) telah ditugaskan untuk membangun pabrik di Fakfak, Papua Barat. Jika tak ada arang melintang proyek dengan nilai investasi lebih USS 1 miliar akan beroperasi tahun 2028 dengan kapasitas produksi pupuk urea 1,15 juta ton/tahun dan 825 ribu amonia/tahun.
Related posts
Kategori
- Headline (141)
- Info Agraris (107)
- Litbang (1)
- Tani Muda (2)
- Uncategorized (8)