Penulis: Wulandari dan Noni Sapira

(Mahasiswi KKN Universitas Andalas 2023, jurusan Pendidikan Dokter dan Hubungan Internasional)

Taluak Nibung, 2 Agustus 2023 – Sejumlah mahasiswa dari Universitas Andalas (Unand) belajar mengenai cara pembuatan tikar dari pandan yang biasanya disebut dengan lapiak pandan di Korong Taluak Nibuang, Nagari Sunua Barat, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. Kegiatan ini bertujuan tidak hanya menggali potensi lokal, tetapi juga memperkuat dan melestarikan budaya tradisional yang unik. Selain memahami teknik dan nilai-nilai budaya, Wulan dan Noni, mahasiswi KKN Unand  juga terlibat dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui media promosi.

Dalam kelompok lima korong yang menyusun Nagari Sunua Barat yaitu Korong Taluak Nibuang, Padang Kalam, Pintir Kayu, Kampuang Jambak, dan Pasar Baru, sebuah kisah menarik berkembang di Korong Taluak Nibuang. Korong ini dikenal sebagai korong terbanyak dalam usaha anyaman pandan, suatu seni yang semakin langka di era modern ini.

Proses menganyam dimulai dengan mengambil daun pandan pada pukul 8 pagi, diikuti dengan tahap buang duri (biasa disebut nuriah oleh masyarakat lokal), kemudian menjemur (manjamua), menghaluskan, dan akhirnya mengayam pandan tersebut untuk dijemur lagi. Menariknya, jenis pandan yang digunakan adalah pandan berduri, yang sebenarnya telah ditanam secara khusus oleh warga setempat. Meski hanya sebagai pekerjaan sampingan, jangan terkejut dalam satu hari, keluarga Ibu Tina, seorang ahli anyaman pandan, berhasil menghasilkan hingga 2 lapiak pandan, dengan waktu sekitar 1 jam saja untuk merajut setiap karya indah tersebut. Dalam proses menganyam ini, tidak hanya perempuan yang terlibat, tetapi juga laki-laki ikut ambil bagian. Terutama dalam tahap pengambilan pandan berduri, laki-laki juga turut berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan tradisi ini.

Potret Ibu Tina Mengayam

Kerajinan anyaman pandan ini ternyata tak hanya merambah wilayah lokal. Produk hasil karya mereka telah menembus batas Nagari Sunua Barat dan sampai ke Pekanbaru serta Pulau Jawa. Distribusi produk dilakukan melalui toke yang datang setiap minggunya ke rumah Bu Tina, dengan harga jual di pasaran Rp10.000 hingga Rp20.000. Ukuran lapiak pandan bervariasi yaitu kecil dan besar.

Usaha menganyam pandan ini telah berdiri kokoh dalam sejarah keluarga Ibu Tina. Warisan turun temurun ini tetap terjaga dengan baik, mempertahankan esensi tradisi seiring bergulirnya waktu. Tidak hanya memiliki nilai budaya, pandan yang dianyam oleh mereka memiliki beragam fungsi, dari menjadi alas duduk santai di tempat wisata hingga balai desa, bahkan menjadi alas pemotong daging saat perayaan Idul Adha. “Biasonyo dakek-dakek Idul Adha, banyak nan mamasan lapiak pandan untuak potong dagiang kurban”, ujar Ibu Tina

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa usaha mereka tak jarang dihantui oleh tantangan alam. Hujan menjadi musuh utama, karena proses menjemur pandan harus dilakukan di bawah sinar matahari langsung. Meski begitu, semangat mereka tidak pudar. “Kami merasa terhormat dapat mempelajari keterampilan tradisional ini dari para ahli tikar pandan di Taluak Nibung”,ujar Mahasiswa KKN Unand, Wulan dan Noni dengan antusias.

Kisah ini mengajarkan pentingnya mempertahankan dan melestarikan warisan budaya dan tradisi lokal. Meskipun dihadapkan dengan tantangan zaman dan perubahan gaya hidup, semangat keluarga Ibu Tina dalam menjalankan usaha anyaman pandan turut memberi pelajaran tentang tekad dan ketekunan. Kisah ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya kreativitas dalam mencari solusi terhadap kendala yang dihadapi, seperti ketika mereka mengatasi hujan dalam proses pengeringan pandan. Selain itu, kisah ini membuktikan bahwa nilai-nilai budaya lokal mampu menjangkau pasar yang lebih luas, sehingga mengangkat citra dan nilai ekonomi daerah tersebut.

(agr/panp)