Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia
Selama ini, diskusi dikalangan pembuat kebijakan pertanian cenderung didominasi masalah produksi, distribusi, dan konsumsi pangan, serta infrastruktur pertanian. Isu reforma agraria–penataan aset (lahan) dalam hubungannya dengan kedaulatan pangan sangat kecil bahkan dihindari.
Pengalaman berbagai negara, telah nyata bahwa syarat untuk menjamin produksi pangan berkelanjutan adalah penguasaan minimum tanah mendapatkan kepastian. Hal ini dipahami oleh para pendiri negara Indonesia dan dirumuskan dalam Perpu No 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (menimbang pasal 17 UUPA No 5 Tahun 1960), mengamanatkan minimum 2 hektar tanah pertanian kepada petani.
Berpuluh-puluh tahun, amanat itu tidak terealisasi. Justru yang terjadi ketimpangan pemilikan lahan semakin dalam dan akses petani pada input produksi semakin sulit. Bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia pada petani kecil seperti pendudukan tanah, pengambilalihan tanah-tanah rakyat, serta blokade-blokade produksi juga intimidasi, terkadang berujung pada penjara dan kematian. Suatu ketidakadilan agraria yang sangat mencolok.
Terjadi gap yang sangat lebar, meningkatnya angka gini lahan dari waktu ke waktu hingga mencapai 0,68. Artinya dari sisi aset, telah terjadi ketimpangan yang lebar karena terkosentrasi pada sebagian kecil orang. Petani hanya mengolah lahan 0,5 hektar dan bahkan ada warga negara yang tidak memiliki tanah sejengkalpun. Saat yang sama ada 1 persen kelompok bisnis yang mengelola dan menguasai 68 persen tanah.
Keadaan terhimpit seperti ini telah membuat petani kecil yang berjuang mempertahankan hidup semakin miskin bahkan memilih menjual tanahnya untuk mencari pekerjaan lain diperkotaan.
Harapan petani kecil terhadap program reforma agraria pemerintahan Joko Widodo sangat tinggi. Namun faktanya kebijakan pembangunan yang mengartikulasikan kepentingan petani ini masih menyisakan persoalan kronis. Hal ini terlihat dari konflik agraria begitu masif yang terjadi sejak tahun 2015-2022. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA (September 2023) telah terjadi 2.710 konflik agraria dan berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dengan korban terdampak 1,7 juta keluarga. Ada 1.615 rakyat ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya. Korban penembakan 77 orang dan 69 diantaranya meninggal.
Sementara kedaulatan pangan (food sovereignty) sebagai kebebasan rakyat untuk menuntut dan mewujudkan haknya dalam mendapatkan serta memproduksi pangan telah dirusak dengan sistem produksi pangan melalui kebijakan seperti food estate dan pertanian korporasi yang justru menciptakan masalah baru. Terlihat bahwa pendekatan dengan kacamata rezim pangan dan kapital sentris pemerintah saat ini masih mengesampingkan ekologi dan lebih jauh meminggirkan petani /pelaku usaha tani sebagai subjek sejarah.
Keberpihakan
Kedaulatan pangan tidak akan mungkin ditegakkan, jika penataan asset tidak dijalankan dengan sunggug-sungguh. Disisi lain penataan akses yang memadai terutama akses modal, infomasi, teknologim dan pelatihan peningkatan pengetahuan serta skill menjadi mutlak. Jika ini dibiarkan akan menjadi jurang ketimpangan yang melebar dan cita-cita ‘memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial’ hanya pepesan kosong.
Keberpihakan menjadi kata kunci dan dengan sendirinya petani akan meningkatkan produksi pangan. Intinya reforma agraria memainkan peran penting dalam peningkatan taraf hidup kaum tani. Lebih dari itu, reforma agraria akan memberikan fondasi yang paling stabil untuk pembangunan secara menyeluruh, salah satunya terbentuknya sebuah bangsa yang berdaulat pangan.
Banyak studi menyebutkan, bahwa penataan asset akan memberikan hasil per hektar yang meningkat, karena lebih intensifnya penggunaan tenaga kerja keluarga dan memungkinkan mereka untuk masuk pada pasar secara adil. Solon Barraclough menyebut reforma agraria adalah instrument kebijakan untuk memperbaiki keamanan pangan. Dalam pandangannya, ketika land reform telah diterapkan, hampir dipastikan memperbaiki akses terhadap pangan karena hak-hak para penerima land reform untuk menggunakan tanah telah terjamin dan biaya sewa tanah menurun. Ketika tanah di redistribusikan kepada petani yang tidak memiliki tanah (tunakisma), kemungkinan-kemungkinan penyediaan pangan sendiri menjadi jauh lebih meningkat.
Mendistribusikan tanah juga akan berdampak pada pendapatan secara lebih luas. Hal ini terkonfirmasi dari hasil simulasi Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) (2018) dengan menggunakan data Susenas Maret 2017 dimana redistribusi aset mampu menurunkan koefisien gini, utamanya koefisien gini di perdesaan dari 0,320 menjadi 0,316. Studi tersebut memperlihatkan bahwa program redistribusi lahan mampu menekan tingkat kemiskinan mencapai 2,95 poin.
Dengan demikian, reforma agraria adalah syarat utama dalam pembangunan nasional. Tidak saja meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani, akan tetapi menjadi pintu masuk untuk lepas landas menjadi negara industri. Reforma agraria tidak saja mengartikulasi kepentingan petani kecil, diatas semua itu menjadi penanda bahwa suatu negara besar yang beradab ditilik dari sebarapa mampu negara memperlakukan rakyatnya sebagai manusia yang merdeka, hidup adil dan sejahtera.
Related posts
Kategori
- Headline (141)
- Info Agraris (107)
- Litbang (1)
- Tani Muda (2)
- Uncategorized (8)