penulis : Muhammad Irvan Mahmud Asia (Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam)

Penyusutan lahan pertanian telah diprediksi jauh-jauh hari, berpuluh tahun lalu. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 1977 menerbitkan laporan yang menyatakan pada akhir abad ke 20, sekitar 600 juta hektar tanah pertanian akan tidak produktif akibat erosi, salinisasi, dan karena digerogoti perluasan kota-kota.

UNEP memprediksi bahwa tanah pertanian di negara-negara dunia ke tiga akan menyusut hingga separuhnya pada pengujung abad dan hingga akhir 1990-an, diperkirakan sekitar 600 juta hektar tanah pertanian akan menjadi tidak produktif karena erosi, proses salinisasi menjadi asam akibat terendam, dan digerogoti perluasan kota. Diprediksi pula kecepatan rusaknya lahan pertanian karena erosi mencapai 2.500 juta jubik per tahun.

Disisi lain, jumlah penduduk dunia dalam periode yang sama meningkat dari 4 miliar orang tahun 1977 menjadi 6,25 miliar pada tahun 2000. Sedangkan lahan pertanian baru dalam periode yang sama hanya bertambah 300 juta hektar yang menunjukan terjadi penyusutan lahan pertanian secara massif. Dunia disibukkan dengan pertumbuhan produksi pangan dunia yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan pangan dunia. Pertanyaannya bagaimana umat manusia menggulanginya? UNEP 46 tahun yang lalu telah mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk mengambil tindakan segera menyelamatkan lahan-lahan pertanian. Namun desakan itu hanya tinggal kenangan, tidak terjadi.

Lantas setelah 46 tahun berlalu, bagaimana dengan situasi terkini di Indonesia. Dari tahun ke tahun penyusutan lahan pertanian terus terjadi. Atas nama pembangunan dan mengejar pertumbuhan ekonomi, sektor pertanian terus tergerus-terpinggirkan. Lahan sawah misalnya, di Kabupaten Karawang, yang kita kenal sebagai sentra produksi beras utama Jawa Barat lahan pertaniannya nyaris habis terdesak oleh pembangunan tol trans Jawa dan properti. Di Purwakarta, Subang, Indramayu, dan Cirebon lahan pertanian beralih menjadi kawasan industri. Hal serupa terjadi di Jawa Timur seperti Tuban dan Gresik, dan terjadi di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Sampai kapan ini terjadi? (Kompas 8 Juni 2018).

Data yang penulis dapatkan dari berbagai sumber per tahun antara 80.000 sampai 110.000 ha lahan sawah beralih fungsi, ada yang jadi perumahan, kawasan industri, dan lain-lain. Bahkan merujuk Asnawati dalam acara PPTR Expo 2021 di Jakarta bahwa secara nasional alih fungsi lahan sawah ke non-sawah tiap tahunnya tercatat rata-rata mencapai 150.000 ha. Sementara cetak lahan sawah baru hanya mencapai 60.000 ha per tahun. Artinya cetak sawah baru tidak seimbang jika dibandingkan dengan alih fungsi lahan sawah.

Kementerian ATR/BPN merilis luas baku lahan sawah tahun 2019 seluas 7,46 juta ha, diperbandingkan tahun 2013 terlihat ada penyusutan 287.000 ha dari luas 7,75 juta ha. Angka ini didapatkan setelah Kementerian ATR/BPN melakukan verifikasi ulang dengan menggunakan perhitungan luas panen melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) yaitu suatu pendekatan penyampelan menggunakan area lahan yang berbasiskan ilmu penginderaan jauh, teknologi sistem informasi geografi (SIG), dan teknologi informasi.

Jika ini terus berlangsung, jelas ketahanan beras nasional akan sangat rapuh, ketergantungan pada impor akan semakin besar. Saat yang sama penduduk Indonesia terus bertambah dimana antara tahun 2015 sampai 2020 bertambah 20 juta jiwa. Artinya ada kenaikan sekitar 4,5 juta penduduk setiap tahun. Dampak ini bisa semakin dalam mengingat konsumsi nasional juga sangat tinggi antara 90-111 kg per kapita per tahun, padahal FAO (Food and Agriculture Organization) menyarankan 60 kg/kapita/tahun.

Memang antara tahun 2019 sampai 2022 terjadi surplus beras dengan rataan produksi pertahun 29,5 juta ton dengan rata-rata konsumsi beras pertahun adalah 27,13 juta ton. Jika dikumulatifkan surplus beras selama 4 tahun itu 9,48 juta ton. Surplus terjadi karena ada peningkatan produktivitas padi dari 5,11 ton/ha pada 2019 menjadi 5, 23 ton/ha pada 2021. Jika dirata-ratakan jumlah produksi padi per tahun pada 2019 hingga 2021 sebesar 54,56 juta ton gabah kering giling (GKG).

Sebagian besar beras tersebut di hasilkan dari lahan-lahan subur di Jawa. Jika sebelum ada UU Cipta Kerja alih fungsi lahan sawah sudah begitu besar, bagaimana dengan dengan berlakunya UU Cipta Kerja yang kita ketahui ekonomi Indonesia makin terbuka (terliberalisasi), kemudahan akses bagi investor untuk mendapatkan HGU, IUP, HGB dan privilage lainnya. Cipta Kerja telah merubah ketentuan pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sehingga terjadinya alih fungsi lahan secara besar-besaran menjadi potensial. UU Cipta Kerja yang biasa kita sbeut sebagai UU sapu jagat juga telah merubah ketentuan pasal 19 UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, dan pasal 44 UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Ini sesuatu yang menggelitik, dalih bahwa “sepanjang untuk kepentingan umum dan pembangunan proyek strategis nasional (PSN)” maka tidak jadi masalah dijadikan dasar UU Cipta Kerja. Ditambah lagi dengan kriteria tambahan seperti diperbolehkannya alih fungsi lahan sawah untuk kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas bumi, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, hingga untuk kawasan pengembangan teknologi semakin membuat suram masa depan lahan pertanian.

Baik proyek strategis nasional selain tanah untuk kepentingan umum, yang bisa melakukan alih fungsi lahan budidaya pertanian pangan berkelanjutan dan menambah objek tanah untuk kepentingan umum, dari 18 menjadi 24 objek, telah membuat lebih banyak objek pembangunan yang bisa melakukan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan. Inilah paradoks bangsa ini, disatu sisi berkeinginan berdaulat pangan namun pada sisi lain terus mengorbankan lahan pertanian untuk kepentingan non pertanian. Fenomena ini telah berlansgung lama, jauh sebelum Cipta Kerja disahkan.

Dalam UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) disebutkan bahwa lahan pertanian untuk kepentingan umum dapat dialihfungsikan dengan persyaratan: kajian kelayakan strategis, penyusunan alih fungsi lahan, pembebasan kepemilikan hak lahan, hingga penyediaan lahan pengganti. Tetapi fakta dilapangan sebaliknya. Artinya pengaturan UU PLP2B untuk melindungi lahan pertanian pangan dari derasnya arus degradasi, alih fungsi dan fragmentasi lahan sebagai akibat dari meningkatnya pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi dan industri tidak berjalan.

Alasan bahwa lahan-lahan yang terkonversi tadi akan dicarikan lahan pengganti juga tidak relevan bahkan semakin menunjukan paradoks. Lahan pengganti, mau mengambil tanah yang mana? kalaupun ada apakah tingkat kesuburannya sama?

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Kementerian ATR/BPN untuk mendukung ketahanan pangan nasional dengan menyiapkan lahan melalui tanah-tanah yang HGU-nya telah habis, tanah tidak termanfaatkan, dan pelepasan. Dari kajian ATR/BPN untuk menghasilkan produksi 2-3 juta ton beras per tahun, diperlukan penambahan lahan sekitar 900.000 hektar. Dari target 900.000 hektar, ternyata lahan yang siap hanya 1.000 hektar. Ini sangat jauh dari target.

Data Kementerian ATR/BPN per 4 Mei 2020, ada beberapa potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan seperti lahan tanah telantar yang saat ini menunggu ditetapkan sebagai Tanah Cadangan untuk Negara (TCUN) seluas 25.298,1735 hektar dan potensi lahan tanah pelepasan sebagian sejumlah 14.825,4635 hektar. Bisa dipastikan jika tanah-tanah eks HGU terutama tambang dan perkebunan sangat sulit untuk menghasilkan tingkat produktifitas yang tinggi. Artinya tidak equivalen dengan lahan sawah subur yang terkonversi.

Pada akhirnya diperlukan kesadaran bersama sebagai warga negara bangsa, terutama pemerintah untuk berhati-hati dalam memberikan izin industri dan perumahan yang areal tanahnya berada di kawasan lahan pertanian pangan. Selanjutnya RTRW harus di jalankan sesuai peruntukannya. Jangan lagi RTRW sekedar formalitas,

Dengan ancaman krisis pangan yang terus mengintai kita, seperti yang diperingatkan FAO maka kedisplinan untuk menegakan aturan akan perlindungan lahan pertanian menjadi mendesak dan penegakan hukum bagi perusahaan dan atau individu yang melanggar RTRW tanmpa membedakan status mereka harus dijalankan untuk memberi efek jera. Belum lagi isu perubahan iklim yang bisa membuat produksi pangan berkurang dan tanda-tanda ini sudah ada di Indonesia akan membuat ketergantungan pada impor semakin besar. Kita harus mempersiapkan mitigasi yang komprehensif.