Penulis : Angga Hermanda
Pegiat Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan l Serikat Pertani Indonesia


Agraris.id, Jakarta – Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan kembali menyerukan peran penting semua pihak dalam mengatasi krisis pangan. Tahun lalu pada pertemuan G-7 di Jerman, soal pangan mendapatkan pembahasan hangat dari para pemimpin dunia. Presiden Jokowi juga sempat menyinggung isu pangan dalam Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-29 di Medan pertengahan 2022. Kekhawatiran Presiden cukup beralasan bila merujuk Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) Tahun 2023. Sekitar 735 juta orang di seluruh dunia menghadapi kelaparan kronis pada tahun 2022. Atas data ini, diprediksi target program zero hunger tahun 2030 akan terkoreksi.

Belum lagi dampak perang rusia-ukraina yang mempengaruhi arus perdagangan pangan dunia semakin memperumit keadaan. Tak pelak kenaikan harga pangan menjadi konsekuensinya. Negara-negara sentra pangan dunia kemudian melakukan proteksi terhadap ekspor pangan. Tren ini menjadi cerminan bagi kita untuk menata ulang kembali sistem pangan nasional.

Lembaga Ekonomi Petani

Syarat utama mengatasi krisis pangan yakni dengan mengoptimalkan produksi pangan dalam negeri. Produsen pangan utama di Indonesia ialah keluarga petani. Karenanya penguatan sumberdaya manusia pertanian menjadi bagian dari faktor utama. Langkah pertama yang mesti dilakukan yaitu memperkuat struktur kelembagan petani. Namun kendala yang tengah dihadapi Indonesia adalah kekurangan jumlah penyuluh pertanian. Menurut data Kementerian Pertanian, dari sekitar 74.000 desa yang ada, jumlah penyuluh pertanian baru tersedia sekitar 44.890 orang.

Kendala lain yang dihadapi petani yaitu belum merasakan kebebasan berorganisasi untuk memilih kelembagaan petani yang sesuai dengan diri sendiri dan lingkungannya. Meski telah dijamin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap Uji Materi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Putusan ini membuat petani tidak lagi berkewajibkan menjadi anggota kelembagaan petani yang ditentukan oleh pemerintah, seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi komoditas pertanian dan dewan komoditas pertanian nasional. Petani dibebaskan menjadi anggota kelembagaan petani yang didirikan oleh petani sendiri, seperti yang dinamakan dengan serikat petani, paguyuban petani, aliansi petani dll. Seluruh kelembagaan petani tersebut memiliki hak dan kedudukan yang sama.

Kelembagaan petani yang ada ini sesungguhnya dimaksudkan untuk bertranformasi menjadi lembaga ekonomi petani yang bermuara pada koperasi. Petani yang sebelumnya kehilangan wadah ekonomi semisal melalui Koperasi Unit Desa (KUD) dimasa lampau, bisa kembali menggiatkan usahanya secara kolektif. Berdasarkan Pasal 80 UU 19/2013, kelembagaan ekonomi petani diselenggarakan melalui Badan Usaha Milik Petani (BUMP). BUMP dibentuk oleh, dari, dan untuk petani sebagai kelanjutan dari kelembagaan petani, dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh petani.

Tentu BUMP yang dimaksud berpijak pada UUD 1945. Bahwa kemakmuran rakyat banyak lebih diutamakan, bukan kemakmuran secara individu. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Jadi badan hukum BUMP yang sesuai dengan konstitusi semestinya berbentuk koperasi, bukan perseroan terbatas (PT) atau persekutuan komanditer (CV).

Koperasi Produksi

Menurut Bung Hatta, koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat. Koperasi bisa merasionalkan perekonomian, yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Koperasi merupakan senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya. Koperasi akan mendidik semangat percaya pada kekuatan sendiri (self help), semangat self help ini amat dibutuhkan untuk memberantas penyakit “inferiority complex” warisan kolonialisme.

Kekuatan koperasi sebagai gerakan ekonomi terus disadari terutama oleh petani. Namun alat produksi dan pasar yang lebih dikuasai oleh korporasi menjadi masalah yang tak terbantahkan. Sebagaimana yang terjadi pada komoditas sawit. Berbagai upaya pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng sawit melalui pelarangan sementara ekspor ternyata tak ampuh. Setelah keran ekspor kembali dibuka, harga minyak goreng sawit juga tetap belum terjangkau oleh kelas menengah ke bawah. Justru harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit ditingkat petani ditemui tak kunjung membaik. Hal ini dilatari kendali korporasi atas sawit yang begitu dominan.

Sehubungan dengan itu, pemerintah mulai meningkatkan perhatian pada produksi petani melalui koperasi. Dalam hal ini, Presiden meninjau langsung proses penelitian minyak makan merah di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Sumatera Utara pada Juli 2022. Minyak makan merah sendiri merupakan inovasi minyak sawit yang berpotensi digunakan sebagai pangan fungsional dalam membantu pencegahan stunting atau kekerdilan. Produksi minyak makan merah akan difokuskan oleh koperasi-koperasi petani. Dengan demikian diharapkan terdapat alternatif pangan yang secara hulu-tengah-hilir dikelola oleh rakyat, tidak lagi selalu bersandar pada korporasi.

Oleh karena itu, koperasi produksi kedepan harus menjadi gerakan terutama untuk mengatasi krisis pangan dan melepaskan jeratan ketergantungan. Sehingga minyak makan merah ini bisa dijadikan sebagai jalan pembuka untuk komoditas pangan utama lainnya, seperti padi, jagung, kedelai, singkong, sagu dan sorgum. Peran penting koperasi produksi diberbagai negara juga telah membuktikan bisa berkontribusi nyata terhadap perekonomian nasional. Sebagaimana yang telah dilakukan Koperasi Fonterra di Selandia Baru. Koperasi ini dimiliki oleh sekitar 10.600 peternak yang menguasai 30% ekspor produk susu dunia dan dengan pendapatan mencapai NZ$ 19.87 miliar atau sekitar Rp. 1,8 Triliun per tahun. Tantangan kita kedepan untuk membangun koperasi petani semacam ini.