Penulis Adalah Abdul Jamil Al Rasyid

Bapatigo merupakan  bahasa Minang dari satu pertiga. Satu pertiga yang dimaksud disini adalah tanah dari lahan pertanian. Istilah ini populer di daerah Tandikek Kabupaten Padang Pariaman. Tandikek merupakan sebuah Nagari yang ada di Kabupaten Padang Pariaman. Di daerah Tandikek rata-rata mata pencaharian masyarakat adalah sebagai petani. Hasil pertanian di daerah Tandikek adalah beras, pepaya, jagung, dan lainnya.

Istilah bapatigo ini lahir karena adanya harta pusaka yang ada di Minangkabau. Di Minangkabau karena menganut sistem matrilineal, maka harta pusaka yang diberikan kepada perempuan tentu dimiliki oleh perempuan. Sama juga dengan daerah Tandikek, karena di daerah Tandikek lahan tanah untuk pertanian dikelola oleh perempuan. Makanya lahir istilah bapatigo, karena bapatigo adalah salah satu tradisi yang mana hasil dari petanian pemilik lahan dibagi menjadi tiga bagian dengan orang yang menggarap lahan pertanian tersebut. Orang yang menggarap lahan pertanian tersebut bukan pemilik tanah melainkan orang lain, di Tandikek dikenal dengan istilah babuek.

Babuek dalam bahasa Indonesia berarti berbuat. Maksudnya disini adalah orang yang menggarap lahan tersebut dan bekerja sama dengan pemilik lahan pertanian. Makanya orang yang babuek adalah orang yang istilahnya mencari penghasilan dari tuan tanah. Makanya adanya istilah bapatigo seperti ini karena di setiap masyarakat tidak semua pemilik lahan yang bisa menggarap lahan pertanian dan bisa saja karena memiliki terlalu banyak lahan. Hal ini yang mendasari bahwa bapatigo adalah salah satu cara untuk menggarap lahan yang ada agar lahan tersebut tetap diisi dan tidak kosong.

Sistem bapatigo ini adalah simbiosis mutualisme antara pihak yang memiliki lahan dengan pihak yang menggarap lahan. Karena dengan sistem tersebut tentu masyarakat yang tidak bisa menggarap lahan akan mendapatkan hasil dari lahan yang dia miliki secara sistem matrilineal. Penggarap lahan yang memakai sistem bapatigo ini biasanya dia akan membeli mulai dari kebutuhan pupuk dan juga bekerja menggarap lahan. Sedangkan pemilik lahan hanya akan menerima hasil sebanyak 1/3 dari semua hasil yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Makanya tradisi ini dikenal dengan bapatigo.

Bapatigo merupakan sebuah tradisi karena banyak masyarakat yang memakai sistem ini di Tandikek Kabupaten Padang Pariaman. Karena sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat di Tandikek Padang Pariaman. Kebiasaan yang sudah menjadi tradisi yang sudah turun temurun dari nenek moyang masyarakat. Karena hal ini yang berkaitan dengan erat dengan budaya pertanian dan juga masyarakat. Karena Tandikek adalah daerah yang agraris, maka tradisi-tradisi seperti ini perlu digaris bawahi.

Ada keunikan dari tradisi bapatigo ini, karena tradisi ini lahir dan terus berkembang hingga sekarang. Tradisi bapatigo ini juga berlaku bagi orang-orang yang lahannya dimiliki oleh ninik mamak. Di Minangkabau ninik mamak berperan penting untuk menyelesaikan sengketa lahan. Maksudnya ada beberapa lahan yang berada di bawah kendali ninik mamak, tentu hasil dari bapatigo ini diserahkan kepada ninik mamak, di Minangkabau dinamakan datuak(kepala suku). Lahan-lahan tersebut langsung dikelola oleh ninik mamak dan hasilnya juga dibagi tiga dengan petani yang menggarap.

Maka dari itu, penulis juga melihat bahwa tradisi bapatigo ini adalah salah satu tradisi yang masih eksis hingga sekarang. Karena masyarakat Indonesia tidak akan lepas dari pertanian. Karena hal ini sudah menjadi tradisi yang terus berkembang di tengah masyarakat khususnya di Tandikek Kabupaten Padang Pariaman. Semua masyarakat yang tidak bisa menggarap lahan dan juga memiliki lahan yang banyak memakai tradisi ini. Tradisi ini juga bisa akhirnya menimbulkan konflik antara pemilik lahan dengan petani yang menggarap lahan. Tetapi sampai saat ini belum ada konflik yang benar-benar besar dalam pertanian di daerah Tandikek Kabupaten Padang Pariaman.

Untuk itu penulis berharap tidak terjadi konflik tentang pertanian di daerah Tandikek karena dengan melestarikan tradisi yang sudah turun temurun. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa sebenarnya tradisi yang berkaitan dengan pertanian itu ada dan bisa dikembangkan. Tetapi sampai saat ini penulis melihat pemerintah di daerah Tandikek belum sepenuhnya mendukung gerakan pertanian secara penuh. Misalnya dengan bantuan-bantuan baik itu tenaga ahli pertanian dan juga bantuan buat pendanaan untuk membeli bibit unggul pertanian. Makanya dengan adanya kaitan antara tradisi dan juga lahan pertanian tentu harus tetap dilestarikan dan didukung penuh oleh pemerintah.