Penulis : Angga Hermanda 
Pegiat Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan l Serikat Petani Indonesia


Jakarta, Agraris.id– Pemerintah Indonesia menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) atas keberhasilan mencapai swasembada beras dan meningkatkan ketahanan pangan nasional pada periode tahun 2019-2021. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Jean Balie selaku Direktur Jenderal IRRI kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/8/2022). Namun setelah kurang dari empat bulan penghargaan itu diberikan, polemik impor beras 500 ribu ton dipenghujung tahun mengemuka. Situasi kian runyam ketika Badan Pangan Nasional (Bapanas) menugaskan Perum Bulog untuk melakukan impor beras dengan total 2 juta ton hingga Desember 2023 ini. Kondisi itu lantas menyulut pertanyaan: bagaimana sesungguhnya sistem pangan nasional kita?.

Tanami Tanah Terlantar

Menyikapi itu Presiden Joko Widodo sendiri dalam beberapa kesempatan terus menyerukan untuk menanami tanah terlantar. Secara khusus tanah-tanah yang ada di republik ini diarahkan untuk ditanami tanaman pangan. Presiden juga menyerukan peran penting semua pihak dalam mengatasi krisis pangan ditingkat nasional maupun internasional. Hal ini menjadi pembahasan hangat dalam pertemuan G-7 di Jerman dan G-20 di Bali tahun 2022 lalu, terutama dalam mengatasi angka kelaparan dunia.

Sedikitnya ada tiga latar pernyataan presiden yang patut dicermati dalam hal menanami tanah terlantar dan mengatasi krisis pangan. Pertama, presiden secara sadar mengakui bahwa banyak tanah yang tidak produktif di Indonesia. Sementara dari tanah-tanah yang tersedia masih dikuasai oleh segelintir pihak dan belum bisa diakses oleh rakyat banyak. Situasi ini bahkan harus diakui menjadi sumber utama dari konflik dan ketimpangan.

Kedua, reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria yang menjadi program prioritas pemerintah belum sungguh-sungguh dijalankan. Tanah yang telah diredistribusikan selama ini ternyata belum berdampak secara signifikan, terutama dalam peningkatan produksi pangan. Pandangan ini dinilai wajar karena arus besar dari kebijakan hanya sekadar sertipikasi tanah semata, bukan merombak struktur ketidakadilan agraria.

Ketiga, secara tidak langsung program peningkatan produksi pangan pemerintah belum memuaskan presiden. Meskipun kini telah mendapatkan penghargaan IRRI untuk swasembada beras dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, namun jika kita cermati apa sebetulnya arti dari dari swasembada itu?. Beradasarkan ketetapan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 1999, suatu negara bisa dikatakan swasembada jika produksi dalam negeri mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Sehingga swasembada tidak serta merta menjadikan Indonesia terbebas dari impor beras pada rentang tahun 2019-2021.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 Indonesia masih mengimpor beras sebesar 407 ribu ton. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 dengan besaran sekitar 356 ribu ton. Jumlah impor beras yang memang tidak terlalu besar apabila dibandingkan tahun-tahun yang lampau ditunjang oleh produksi padi yang cenderung stabil. Hal ini harus diakui juga berkat faktor cuaca yang berhasil mencukupi kebutuhan air bagi tanaman padi. Meskipun secara luasan panen padi mengalami penurunan sebesar 2,3 persen dari tahun 2020 ke tahun 2021 (BPS, 2021).

Penting menjadi perhatian bahwa peran ini diemban oleh pertanian keluarga petani, bukan melalui Food Estate. Karena itu, lumbung pangan nasional melalui Food Estate mesti dievaluasi menyeluruh, karena belum berkontribusi secara nyata. Justru marak ditemui masalah lanjutan yang ditimbulkan seperti dari segi keterlibatan petani dan aspek lingkungan. Bahkan Alat dan Mesin Pertanian di Food Estate Kalimantan Tengah ditemui banyak yang mangkrak dan ditarik dari lapangan. Pada sisi yang sama, kinerja Badan Pangan Nasional belum sesuai dengan ekspektasi dan mandat UU Pangan. Badan Pangan Nasional masih sekadar memastikan ketersediaan pangan cukup dan belum bekerja untuk tujuan yang lebih besar, yakni memastikan produksi pangan berasal dari keluarga petani dalam negeri dan akses pangan yang terjangkau bagi konsumen.

Kedaulatan Pangan

Pertanyaan lanjutan kemudian mengemuka: Apakah swasembada beras dalam tiga tahun ini berdampak pada kesejahteraan petani padi? Sementara impor pangan kembali menjadi polemik diruang publik. Jika indikator kesejahteraan petani itu dapat mengacu pada Nilai Tukar Petani (NTP), yakni perbandingan indeks untuk mengukur daya beli petani, maka petani padi yang tergolong kedalam NTP subsektor tanaman pangan berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. NTP tanaman pangan pada Januari 2019 tercatat sebesar 107,58 kemudian mengalami penurunan drastis sepanjang tahun 2020 dari 104,48 pada Januari menjadi 100,89 pada Desember. Angka itu terus merosot ke 99,88 pada Desember 2021, dan bulan Juli 2022 berada di posisi terendah yakni 95,28. Sedikit kenaikan terjadi pada bulan Agustus 2022 diangka 97,90 (BPS). Kemudian naik lagi di bulan Oktober 2022 menjadi 100,41. Meskipun demikian secara posisi cenderung amat riskan karena sama dengan angka impas yakni NTP berada pada angka 100.

NTP tanaman pangan yang kurang stabil dipengaruhi oleh penguasaan dan kepemilikan tanah petani yang juga rendah. Laporan Penelitian Badan Pertanahan Nasional tahun 2019 menunjukkan bahwa luas tanah pertanian yang dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian menunjukkan distribusi yang tidak merata. Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mendominasi, yakni sebanyak 16,25 juta rumah tangga atau hampir 60 persen (SUTAS BPS 2018). Selama empat dekade, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 – 0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang (0,4 ≤ G ≤ 0,5) dan tinggi (G>0,5). Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti 68% sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1% kelompok penduduk Indonesia.

Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria masih terjaga dan sangat banyak yang belum kunjung selesai. Padahal sebagian besar tanah-tanah konflik agraria telah ditanami oleh petani dan menjadi sandaran perekonomian rakyat di perdesaan. Karenanya tanah konflik agraria merupakan potensi utama untuk meningkatkan produksi pangan. Akan tetapi, potensi itu mesti didukung dengan kepastian hak atas tanah kepada petani melalui Reforma Agraria. Sejak tahun 2014, pemerintah telah menargetkan reforma agraria melalui redistribusi tanah seluas 9 juta hektare kepada petani dan rakyat tak bertanah/tunakisma. Hal ini sejurus dengan Reforma Agraria yang menjadi syarat utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Kedaulatan pangan memposisikan petani, nelayan, masyarakat adat dan produsen pangan skala kecil lainnya sebagai subjek, bukan lah objek dari kebijakan. Hal ini berbeda dengan konsep Food Etate yang menyampingkan peran keluarga petani dalam memproduksi pangan. Oleh karena itu, aspirasi dan kebutuhan dari para subjek—selaku produsen pangan yang utama di Indonesia—akan lebih diprioritaskan, bukan lagi produksi yang didasarkan pada tuntutan pasar.

Pemerintah mesti menyadari bahwa sekarang menjadi momentum yang tepat. PBB telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP) pada tahun 2018 lalu. Kemudian FAO menetapkan tahun 2019-2028 sebagai Dekade Pertanian Keluarga. UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga mengatur kewajiban dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan jaminan luasan lahan pertanian seluas 2 (dua) hektare kepada petani yang sudah bertani selama 5 (lima) tahun berturut-turut.

Sehingga penghargaan swasembada beras dari IRRI, perintah presiden untuk menanami tanah terlantar, pelaksanaan Reforma Agraria, dan kerja bersama dalam mengatasi krisis pangan bisa diselaraskan. Terutama dalam memastikan data produksi padi dan kebutuhan beras nasional, agar kebijakan impor tidak selalu menjadi momok negeri agraris ini. Kementerian dan Lembaga terkait mulai dari Kementerian Pertanian, BPS, Badan Pangan Nasional, Perum Bulog, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertahanan dan yang lainnya harus duduk bersama untuk menyepakati satu data bersama. Langkah ini kemudian dilengkapi dengan menjamin hak atas tanah bagi petani, menguatkan peran keluarga petani, dan melindungi harga hasil panen petani dari fluktuasi pasar. Dengan begitu kita bisa lebih fokus untuk benar-benar keluar dari bayangan krisis pangan. Peta jalan ini sesungguhnya sudah sangat jelas dalam visi Nawacita dan Indonesia Maju Presiden Joko Widodo, yakni melalui Kedaulatan Pangan. Hanya saja belum ada kesungguhan untuk benar-benar mengimplementasikannya.

(Agr/Asg)