Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia (Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam)

Sampai tahun 2022, pangsa pasar kredit perikanan terhadap keseluruhan kredit bank umum masih sangat kecil yakni 0,31% (Rp. 9,9 triliun). Dibandingkan kredit sektor pertanian, perburuan dan kehutanan yang mencapai Rp. 458,33 triliun. Minimnya kredit tersebut, membuat kontribusi perikanan pada produk domestik bruto (PDB) tahun 2022 hanya 2,54%. Angka ini masih kecil jika dibandingkan potensi sumber daya perikanan Indonesia.

Fakta bahwa pembiayaan di sektor perikanan sangat kecil sudah sejak lama.  Misalnya di tahun 1980-an, nelayan pernah mendapatkan pinjaman dari pemerintah melalui program Bimbingan Massal (Bimas). Penyaluran kredit ini adalah yang pertama dan sekaligus terakhir. Alasan pemberhentiannya karena nelayan dianggap gagal mengembalikan kredit dan setelahnya perbankan tidak “berani” lagi menyalurkannya.

Pada tahun 2011, BRI menyalurkan kredit sektor perikanan (termasuk didalamnya usaha budidaya, khususnya tambak udang) mencapai Rp. 1.5 triliun. Kredit ini disalurkan dalam berbagai bentuk: ada kredit komersial, kredit usaha rakyat, dan kredit ketahanan pangan perikanan.

Kembali pada kredit tahun 2022 yang mencapai Rp. 9,9 trilun. Angka ini sebenarnya telah melampaui target Rp. 8,98 trilun. Namun ada gap antar himbara (himpunan bank pemerintah) dimana kontributor terbesar dari Rp. 9,9 triliun adalah BRI dengan total kredit sebesar Rp. 7,2 triliun yang diberikan kepada 199.224 nasabah, terdiri dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di subsektor pengolah dan pemasar hasil perikanan, pembudidaya, serta nelayan.

BRI juga telah berkolaborasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam program Kartu Kusuka dan selama tahun 2020 telah tercatat 250.000 kartu dan juga penyaluran pinjaman dana bergulir dengan LPM UKP dengan outstanding Rp 300 miliar (lihat Laporan BRI).

Tantangan

Tak bisa dipungkiri kalau pengelolaan sektor perikanan membutuhkan modal besar. Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya pada kredit bank, membuat nelayan kita sangat sulit untuk meningkatkan tangkapannya dan apalagi bersaing dalam Usaha Pengolahan Ikan (UPI) secara optimal jika akses pada pembiayaan sulit. Data Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2019, UPI skala mikro dan kecil di Indonesia jumlahnya sangat dominan yakni mencapai 62.093 unit atau 98,77% dari total jumlah UPI. Sedangkan UPI skala menengah dan besar hanya sejumlah 773 unit atau 1,23%.

Padahal perputaran uang dari penangkapan ikan saja sekitar Rp. 406,99 triliun/tahun sebagaimana diklaim KKP. Angka yang sangat fantastis ditengah berbagai hambatan dari nelayan. Jika penangkapan ikan dilakukan secara maksimal bisa ribuan triliun.

Tentunya penangkapan tersebut dilakukan secara terukur sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2023 mengenai kuota penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan di mana kuota dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.

Untuk meningkatkan hasil tangkapan, hal utama yang harus dipenuhi adalah ketersediaan kapal dengan kapasitas minimal 15 Gross Ton (GT). Harga/unit sangat mahal bisa mencapai Rp. 500 juta. Selanjutnya teknologi alat tangkap modern terutama jaring termasuk cold storage sangat diperlukan. Adapun pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam pengolahan hasil perikanan nasibnya tidak lebih baik. Mereka kesulitan mendapatkan pembiayaan untuk meningkatkan skala usaha mereka.

Pemerintah menyadari fakta ini. Di masa SBY misalnya ada program bantuan 1000 unit kapal nelayan berukuran 30 GT. Namun program ini menambah masalah baru karena tidak mempertimbangkan keanekaragaman usaha dan tradisi nelayan sebagaimaan terjadi di Karangsong, Bagansiapiapi dan tempat lainnya. Program serupa berlanjut di pemerintah Presiden Joko Widodo dimana KKP membagikan kapal pada nelayan disertai penindakan tegas pada kapal-kapal nelayan asing.

Sejak Mei 2015, pemerintah juga telah membuat program “mendorong pembiayaan Usaha Kecil dan Mikro (UKM) perikanan”, dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama KKP menjalankan program JARING (Jangkau, Sinergi, dan Guideline). Sasarannya agar pelaku usaha perikanan dapat meningkatkan akses pembiayaan dari perbankan. Akan tetapi sekian tahun berjalan program ini juga tidak optimal.

Kurang optimalnya program ini dikarenakan para calon debitur masih mendapat stereotipe dari kreditur. Perbankan masih memandang nelayan dan pelaku usaha perikanan skala mikro dan kecil belum memiliki kemampuan manajerial keuangan yang baik sehingga potensi kreditnya macet cukup besar. Perbankan memandang sektor perikanan terutama yang tangkap adalah kegiatan usaha dengan risiko tinggi, penuh spekulasi.

Nelayan akhirnya menempuh pola pembiayaan non bank – dari rentenir. Selama puluhan tahun peran rentenir pada usaha perikanan tangkap khususnya sangat nyata bahkan menjadi tumpuan ekonomi keluarga nelayan miskin.

Keterbatasan nelayan dan pelaku UMKM perikanan mengakses pembiayaan harus di evaluasi secara menyeluruh. Terutama perubahan cara pandang perbankan dalam melihat usaha perikanan dan bagaimana pemerintah menjadi collateral bagi nelayan. Saat yang sama, organisasi nelayan dengan dukungan pemerintah dan OJK serta perguruan tinggi, harus berbenah, dengan terus menggalakan pendidikan dan pelatihan agar terbangun karakter dan capacity (capability).

Himbara harus aksesibilitas – memberi kemudahan akses bagi pelaku perikanan. Selain itu, bank daerah juga diperlukan komitmennya untuk membiayai usaha perikanan tangkap dan budidaya di daerah masing-masing. Singkatnya, bank harus menjadi agent of development bagi sektor perikanan.

Dibutuhkan keberpihakan politik anggaran dari pemerintah dan pemberdayaan secara penuh. Untuk industri pengolahan hasil perikanan, selain pembiayaan, manajemen inovasi, knowledge dan skill menjadi tantangan tersendiri.

Mengingat banyaknya tantangan sektor perikanan, maka anggaran KKP dalam APBN tahun 2024 mesti di naikan kalau perlu disamakan dengan anggaran Kementrian Pertanian. Mengingat kedua sektor ini sama vitalnya bagi bangsa Indonesia.