Agraris.id- KEPRI. Kerusuhan pecah di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau pada Kamis siang (7/8/2023). Petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP terlibat dalam bentrok dengan warga Rempang. Bentrok terjadi saat akan dilakukannya pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Keributan pecah ketika petugas gabungan tiba di lokasi pengukuran. Keributan itu bermula dari adanya aksi demonstrasi warga menolak pengembangan kawasan tersebut. Cekcok warga dengan petugas keamanan membuat aparat menembakkan gas air mata.

Situasi semakin tidak kondusif, warga berlarian, dan dorong mendorong antara petugas dan warga tidak dapat dielakkan. Dari kejadian itu, banyak korban yakni anak anak sekolah dan orang dewasa yang terkena imbas dari gas air mata,  dikabarkan beberapa siswa sekolah juga dibawa ke rumah sakit akibat terkena gas air mata yang terbawa angin, karena lokasi sekolah tidak  dari tempat terjadinya keributan.

Terdengar suara dari toa agar warga mundur. Di akhir video yang beredar, ada sejumlah warga yang ditangkap. Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan video itu didapatkan YLBHI dari warga setempat.

Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusaha (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang ke tempat yang sudah di sediakan. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.

Menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City. PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. salah satu Tujuannya adalah mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.

Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya.

Bahkan Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang.

adanya penolakan warga 

Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dengan tegas menolak wilayah tersebut direlokasi.

Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.

Warga mempersilakan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. “Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi,” katanya.

Ia mengklaim warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. “Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga,” kata Gerisman.

Sumber: https://nu.or.id/nasional/kronologi-bentrok-warga-dan-aparat-di-pulau-rempang-batam-K4x4Z

(Agr/panp)