Indonesia adalah negara yang agraris, karena tanah di Indonesia adalah lahan pertanian. Maka dari itu, Indonesia tidak akan lepas dari pertanian.Tradisi merupakan adat istiadat (kebiasaan) turun temurun yang dilakukan suatu masyarakat yang hingga saat ini masih dijalankan oleh masyarakat suatu daerah. Karena masyarakat Indonesia sudah memiliki tradisi-tradisi pertanian tersendiri untuk pertanian. Tradisi-tradisi pertanian banyak ditemukan ketika kita bicara pertanian di Indonesia.

Kontrak tanah merupakan suatu sistem yang biasanya digunakan oleh masyarakat pertanian, karena kontrak tanah terjadi karena kesepakatan antara pemilik tanah dan juga penyewa sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak baik itu harga dan juga jangka waktu kontrak tanah tersebut. Kontrak tanah tidak jauh berbeda dengan sistem sewa tanah. Sistem sewa tanah sudah ada sejak zaman penjajahan Inggris di Indonesia. Karena pada saat Thomas Stamford Raffles adalah pencetus sewa tanah saat ia menjabat letnan gubernur dan ditugaskan menjalankan pemerintahan Indonesia. Maka dari itu lahir sistem sewa tanah yang berkembang hingga saat ini.

Sistem Kontrak tanah pada saat ini sudah diatur dalam undang-undang pokok agraria. Karena kepemilikan lahan di Indonesia sudah diakui oleh negara dengan adanya sertifikat tanah yang sah bagi pemilik tanah.Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang tersebut mengatur batas-batas dan hak-hak tanah warga negara, maka diberikan kepastian hukum dari negara kepada para pemilik tanah, dan diakui oleh negara sehingga dapat menghindari segala permasalahan dan sengketa tentang hak milik tanah. Tetapi hingga saat ini, penulis masih banyak melihat tanah-tanah yang masih belum ada sertifikat hingga saat ini, penulis masih banyak melihat tanah-tanah yang masih belum ada sertifikat hingga saat ini.

Di Minangkabau, tanah adalah salah satu warisan yang berharga untuk anak cucu. Karena di Minangkabau sistem pembagian harta diatur oleh adat dengan sistem matrilineal. Maka dari itu di Minangkabau tanah yang dimiliki biasanya dimiliki oleh kaum dengan nama harato pusako tinggi(harta pusaka tinggi). Hingga saat ini sering terjadi konflik yang penulis lihat khususnya di wilayah Minangkabau karena tidak adanya pembagian yang jelas untuk tanah dan juga belum sah memiliki sertifikat lahan. Saling klaim harato pusako tinggi sering terjadi di Minangkabau.

Persoalan diatas sebenarnya harus diselesaikan oleh kaum di Minangkabau. Tetapi hal itu yang hingga saat ini masih banyak terjadi konflik di dalam kaum. Menurut penulis, peran pemerintah sangat penting untuk menyelesaikan konflik tanah tersebut. Karena tanah di Minangkabau adalah tanah adat, maka dari itu saling klaim dengan landasan sejarah sering terjadi di Minangkabau. Maka dari itu solusi buat pemerintah menurut penulis adalah dengan membagikan sertifikat gratis kepada tuan tanah. Karena hal ini yang berguna untuk eksistensi tradisi sistem kontrak tanah tersebut.

Banyak masyarakat berpendapat bahwa tanah yang sedang terjadi konflik biasanya tidak akan mau disewa oleh masyarakat lain. Karena masyarakat takut dengan kejadian yang tidak diduga-duga untuk kedepannya. Menurut penulis salah satu alasan yang membuat sistem kontrak tanah ini kurang eksis hingga saat ini adalah konflik tersebut. Banyak tanah khususnya di wilayah Minangkabau sering terjadi konflik. Maka dari itu masyarakat yang sudah kadung dengan tradisi tersebut menjadi malas dengan urusan tanah yang sedang ada konflik.

Tetapi sistem kontrak tanah tidak serta merta hilang begitu saja. Masih ada masyarakat yang menyewakan tanah walaupun tidak bersertifikat dengan landasan undang-undang adat dari masyarakat itu sendiri. Tetapi hal ini menjadi resiko bagi masyarakat yang nantinya bisa saja berkonflik dengan kaum yang memiliki tanah. Saling klaim tersebut biasanya menimbulkan konflik baik bagi penyewa, tuan tanah dan kaum tuan tanah. Penulis pernah melihat kejadian seperti ini, karena adanya konflik tanah tersebut.

Untuk itu, peran pemerintah sangat penting untuk eksistensi tradisi kontrak tanah ini. Karena pemerintah sebagai penengah apabila terjadi konflik tanah. Pemerintah sudah memberikan sosialisasi kepada masyarakat, tetapi pemerintah juga mematok harga mahal untuk satu urusan sertifikat kepada masyarakat. Maka dari itu, masyarakat adat biasanya akan malas berurusan dengan pemerintah apabila tagihan untuk satu sertifikat saja bisa jutaan rupiah. Untuk itu pemerintah perlu memberikan solusi yang elegan agar tradisi sistem kontrak tanah tidak hilang begitu saja.

Penulis Adalah Abdul Jamil Al Rasyid Lahir di Padang Pariaman, Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas, Anggota Lembaga Mahasiswa Jurusan(Lmj) Sastra Minangkabau dan Dewan Redaksi Agraris.Id